Gereja St. Yohanes dan Monopoli Dagang Inggris di Bengkulu

Gereja Katolik St. Yohanes Penginjil Bengkulu
Gereja Katolik St. Yohanes Penginjil Bengkulu, 5 September 2014. (Foto: Silvia Galikano)

Kalah pengaruh dengan Belanda (VOC) di Banten, Inggris (EIC) mlipir ke Bengkulu untuk mendapat pasokan lada. Gereja pun dibangun tak jauh dari tangsi militer.

Oleh Silvia Galikano

Gereja Katolik St. Yohanes Penginjil Bengkulu
Jl. Prof. Dr. Hazairin, SH 12, Kelurahan Pasar Baru, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu.

Gereja yang dibangun Inggris pada 1927 ini berukuran 25×30 meter dan mampu menampung sekira 1.500 jemaat. Di halaman depan berdiri sang ikon, patung Santo Yohanes, setinggi 5 meter. Inilah gereja terbesar sekaligus tertua di Provinsi Bengkulu.

Sudah sejak 1511, para pedagang Eropa, terutama Inggris dan Belanda, ramai melakukan pelayaran dari Aceh, menyusuri pantai barat Sumatera, melintasi Selat Sunda, hingga mendarat di Banten.

Baca juga Dua Keraton Cirebon di Impitan Dua Budaya Besar

Hingga lebih dari 100 tahun kemudian Inggris membuat perjanjian dagang dengan Kerajaan Selebar/Silebar. Kerajaan ini memiliki kekayaan hasil bumi lada dan salah satu pemasok lada bagi Banten. Pada masa itu, kerajaan-kerajaan di Bengkulu (Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Sungai Itam, Kerajaan Silebar, dan Kerajaan Muko-muko) di bawah pengawasan Kerajaan Banten.

Inggris mengutus Benjamin Bloome dan Joshua Charlton. Mereka tiba di Pulau Tikus, 1 km dari pusat Kota Bengkulu, pada 24 Juni 1685 dan disambut Pangeran Raja Muda dari Kerajaan Sungai Lemau. Orang-orang Inggris ini tidak masuk ke Pelabuhan Silebar (daerah Pulau Baai) karena kapal Sultan Banten dan kapal Belanda sedang bersandar di sana.

Segera saja Inggris menancapkan pengaruhnya dengan mendekati penguasa-penguasa lokal Bengkulu. Dihasilkanlah kesepakatan pada 12 Juli 1685 antara Inggris yang diwakili Komisaris Ralph Ord dan Pangeran Raja Muda. Bersamaan dengan itu, diadakan pula perjanjian dagang dengan Raja Sungai Itam Depati Bangsa Raja.

Baca juga Joseph Johannes, Pria Armenia dari Bukit Simongan

Kedua perjanjian itu memberikan hak tunggal kepada Inggris untuk memonopoli perdagangan lada di dua kerajaan tersebut, izin membangun loji, serta mengadili penduduk yang berbuat salah. Dimulailah era tanam paksa lada terhadap rakyat.

Masih di tahun yang sama, Inggris membangun Benteng York di antara laut dan Sungai Serut serta terus memperluas wilayahnya sampai Muko-muko.

Gereja Katolik St. Yohanes Penginjil Bengkulu
Patung Santo Yohanes setinggi 5 meter di halaman depan gereja, 5 September 2014. (Foto: Silvia Galikano)

Sejak itu Bengkulu menjadi daerah yang ramai. Orang-orang Eropa datang dan menetap, termasuk di antaranya umat Katolik. Penguasa East India Company (EIC, Serikat Dagang Inggris) di Madras, India, meminta misionaris Ordo Theatin untuk melayani kehidupan rohani tentara dan masyarakat Katolik Eropa di Benteng York.

Pemimpin Ordo Theatin mengirim Pastor Martelli yang tiba di Bengkulu pada Desember 1702, dan tinggal di Benteng York. Pastor Martelli mendapat bantuan tenaga Pastor Castelli.

Dalam suratnya bertanggal 28 Januari 1703, Pastor Martelli melaporkan, jumlah umat Katolik di Bengkulu mencapai 300 orang.

Pada 1706 Pastor Martelli dibunuh saat melayani umat di daerah pedalaman Kalimantan, sehingga Pastor Castelli bekerja sendiri melayani umat di Bengkulu. Pada 1708 Pastor Johannes Maria Comini membantu karya misi di Bengkulu.

Baca juga Gereja Katedral St. Petrus, Bandung

Konflik antara rakyat Bengkulu dengan bangsa Inggris mulai sering terjadi. Konflik ini membawa dampak buruk bagi karya misi gereja di Bengkulu. Rumah kediaman Pastor Castelli diserang dan dihancurkan rakyat Bengkulu, benda-benda suci diambil. Melihat karya misi yang sudah bertahun-tahun hancur dan tak terlihat lagi harapan, Pastor Castelli meninggalkan Bengkulu menuju ke Kalimantan.

Tugas Pastor Castelli digantikan Pastor John Milton. Belum lama berada di Bengkulu, Pastor John Milton jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada 14 September 1714.

Pastor Johannes Maria Comini kembali bekerja seorang diri hingga ditarik ke Goa, India, karena diangkat menjadi pimpinan Ordo Theatin Asia. Tugasnya di Bengkulu digantikan Pastor Josef Maria Ricca. Ia berhasil membangun kapel di dekat Benteng Anna di Muko-muko.

Benteng Marlborough, Bengkulu
Benteng Marlborough, Bengkulu, 1936 (Dok KITLV A1368)

Benteng Marlborough rampung dibangun pada 1719 menggantikan Benteng York yang sudah tidak layak dan dikepung penyakit, seperti disentri dan malaria, sehingga ditinggalkan.

Konflik pecah lagi antara Inggris dan masyarakat Bengkulu pada 1719. Benteng dan kapel diserang dan dibakar.

Pastor Ricca menolak melarikan diri dan memilih tinggal bersama umatnya. Dia sedang mengadakan misa Jumat Agung. Saat penghormatan salib, penduduk pribumi pemberontak masuk dan akhirnya membunuh Pastor Ricca.

Pemberontakan itu membuat Inggris khawatir dan akhirnya meninggalkan Bengkulu.

Baca juga Sarang Garuda, Epos Keluarga Oei

Pada 1721, pasukan Inggris merebut benteng kembali. Usaha mengirim misionaris dari Ordo Theatin tidak berhasil. Tetapi berkat keteguhan Pastor Johanes Maria Comini sebagai pimpinan Ordo Theatin kawasan Asia, dua orang misionaris dapat dikirim ke Bengkulu.

Mereka adalah Pastor Carolus Fideli dan Pastor Alexander Rotigno. Selama pelayanannya, Pastor Fideli dapat membangun kembali kapel yang rusak saat pemberontakan 1719 serta membangun kapel di Muko-muko.

Seiring situasi Bengkulu yang kembali kondusif, para pedagang dari Eropa kembali ramai mendatangi Bengkulu hingga beberapa puluh tahun kemudian.

Baca juga Bukan Tabu, ‘Ave Maryam’ Adalah Kemuliaan

Konflik Inggris dan Prancis di Eropa semakin menghebat. Benteng Marlborough pun direbut Prancis pada awal April 1760. Prancis kemudian memanfaatkan benteng ini untuk memenjarakan pasukan Inggris.

Peperangan antara Inggris dan Prancis menyebabkan karya misi hancur. Tahun-tahun sesudahnya, Bengkulu menjadi rebutan antara Inggris dan Belanda, namun Inggris dapat mempertahankan Bengkulu.

Ketika pada 1824 ditandatangani persetujuan damai antara Belanda dan Inggris (Traktat London – versi Belanda, atau The Anglo-Dutch Treaty of 1824 – versi Inggris), Inggris akhirnya pergi dari Sumatera, termasuk Bengkulu. Seluruh kekuatan Inggris meninggalkan Bengkulu pada Maret 1825 dan mengakhiri kehadiran Inggris di Bengkulu selama 140 tahun (1685-1825).

Kampung Cina Bengkulu
Kampung Cina Bengkulu 1904 (Dok KITLV)

Setelah kepergian Inggris dari Bengkulu, karya misi yang sejak 1702 dilaksanakan Ordo Theatin tidak dapat diteruskan. Ordo Kapusin yang dipercaya untuk mengerjakan karya misi di daerah ini.

Pastor H.M. Mekkelholt, SCJ diangkat sebagai Prefek Apostolik pada 19 Januari 1939. Masa itu, umat Katolik masih sedikit di Bengkulu. Salah satunya adalah keluarga van der Vossen yang memiliki kedudukan penting.

Dari keluarga van der Vossen inilah pada November 1926 dibeli sebuah rumah di Jalan Pasar Melintang, Bengkulu. Rumah itu ditempati Pastor M. Neilen SCJ sebagai pastoran sekaligus tempat ibadat. Neilen SCJ adalah pastor paroki pertama Paroki St. Yohanes Penginjil.

Pastor Neilen, SCJ juga memulai Hollandsch-Chineesche School (HCS) pada 31 Desember 1926. Untuk itu, ia mengirim surat undangan kepada pimpinan kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus (CB) untuk berkarya di Bengkulu. HCS kini menjadi SD Sint Carolus yang masih dilayani para suster CB.

Baca juga Thio Thiam Tjong dan Arus Politik Sang Penerus

Pada 1926 Gereja membeli rumah dan tanah di daerah Kampung Cina, Bengkulu. Bagian yang lebih dekat dengan laut digunakan untuk susteran dan sekolah, sedangkan bagian yang lebih tinggi digunakan sebagai pastoran dan asrama putra. Di pastoran itulah didirikan gereja.

Saat itu, persebaran umat masih terbatas di sekitar gereja dan Kampung Cina. Dalam Liber Baptizmorum (Buku Baptis), ada beberapa orang yang dibaptis pada awal gereja Bengkulu, yaitu Corry Rosmini yang dibaptis tanggal 19 Mei 1927, Maria Tjoa Goei Nio (Mariani Tjimantara) dibaptis tahun1930, dan Josephus Lie Hian Soen yang dibaptis tahun 1930.

Tahun 1981, dibangunlah gereja baru di samping gereja lama. Gedung baru gereja ini diberkati oleh Mgr. J.H. Soudant, SCJ pada Hari Raya Pentakosta, 22 Mei 1983.

***

Sumber:

Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu, Ditjen Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud, 1983/1984.

Leave a comment