LINI TRANSISI, Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional #2

Tidak seperti sebelumnya, Pameran Seni Koleksi Istana absen dulu untuk Agustus tahun 2019.  Sebagai pengganti, Galeri Nasional Indonesia serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional #2 “Lini Transisi” sepanjang Agustus 2019 di Gedung A Galeri Nasional Indonesia.

Baca juga Isyarat Spiritualitas Karya Nasjah Djamin

Pameran yang menampilkan 50 karya seni koleksi lembaga-lembaga pemerintahan RI ini dikurasi Suwarno Wisetrotomo dan Rizki A. Zaelani. Dipamerkan di sini karya-karya seniman, antara lain Abdul Kholim, Affandi, Agus Djaya, Ahmad Sadali, Amang Rahman Jubair, Bagong Kussudiardja, Batara Lubis, Edi Sunaryo, Effendi, Fadjar Sidik, Gambiranom Suhardi, Gusti Solichin, Harijadi Sumadidjaja, Hendra Gunawan, Popo Iskandar, Soedibio, Srihadi Soedarsono, Sudjana Kerton, dan Widayat.

Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional pertama kali diadakan pada 10 – 28 Oktober 2018, melibatkan institusi dan instansi pemerintah yang memiliki karya seni rupa sebagai koleksi negara, di antaranya Museum Aceh, Dewan Kesenian Jakarta, dan Museum Sejarah Jakarta – UP Museum Kesejarahan Jakarta.

S. SUDJOJONO, Ada Orkes, 1970, 80,5x120cm, cat minyak pada kanvas, koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik. (Foto Silvia Galikano, 2019)

Untuk pameran tahun 2019 ini melibatkan Kementerian Luar Negeri RI, Museum Seni Rupa dan Keramik­–UP Museum Seni, Museum Sejarah Jakarta–UP Museum Kesejarahan Jakarta, dan Museum Bank Indonesia.

Baca juga Satu Simpul Dua Budaya Entang dan Sally

Tema “Lini Transisi” merujuk pada gagasan mengenai perubahan atau peralihan. Ada dua pokok persoalan dalam kajian seni rupa Indonesia, yaitu dimensi paradigma estetik serta konteks sosio-kultural yang melatarbelakangi perkembangannya.

WIDAYAT, Dunia Burung I, 1974, 99x140cm, cat minyak pada kanvas, koleksi Galeri Nasional Indonesia. (Foto Silvia Galikano, 2019)

Secara umum, setiap karya seni rupa bisa dianggap mengandung konteks persoalan khas yang jadi latar belakang proses penciptaannya. Karya-karya tersebut merefleksikan situasi atau keadaan hidup (sosial-budaya) yang dialami atau dihadapi sang seniman.

Baca juga Purjito Mengeja Ibu Kehidupan

Sejarawan seni rupa Indonesia M. Agus Burhan menemukan lini-lini perkembangan paradigma estetik yang khas dalam pemahaman sejarah seni rupa Indonesia. Setiap paradigma ini mewarnai kurun-kurun perkembangan seni rupa modern di Indonesia.

Paradigma itu adalah Romantisisme-Eksotis pada masa awal perkembangan seni rupa modern di Indonesia, yakni awal abad ke-20 hingga tahun 1930–an.

Sejak tahun 1938 hingga tahun 1965, berlangsung paradigma estetik lain, disebut sebagai Kontekstualisme-Kerakyatan yang berkembang semasa Orde Lama Indonesia.

Selepas tahun 1966, atau semasa dimulainya kekuasaan politik Orde Baru, berkembang paradigma estetik yang disebut prinsip seni Humanisme-Universal yang berlangsung hingga penghujung 1980–an.

Baca juga JavaScript, Estetika Baru Naskah Kuno

Berlakunya periode dari paradigma estetik tertentu menunjukkan sebuah kecenderungan umum arus perkembangan seni rupa yang berlaku secara dominan. Namun dalam arus dominan tersebut terdapat juga tanda-tanda peristiwa penting lain yang berbeda, yang berlangsung menyimpang.

Prinsip Humanisme-Universal, misalnya, dalam praktiknya sebenarnya sudah mulai tumbuh sejak tahun 1950­–an, namun kecederungan itu terpaksa berkembang secara terbatas akibat dominasi pengaruh prinsip Kontekstualisme-Kerakyatan yang berlaku sebagai paradigma.

SOEDIBIO, Aku Berbaring, 1972, 88x133cm, cat minyak pada kanvas, koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik. (Foto Silvia Galikano, 2019)

Sekitar tahun 1974 dan kemudian berlangung kembali sekitar tahun 1987, berkembang juga usaha perlawanan estetik yang dilakukan para seniman muda terhadap prinsip Humanisme-Universal yang berlaku dominan. Perlawanan para seniman muda ini yang kini dipahami sebagai gejala pendahulu era seni rupa kontemporer atau proto-seni rupa kontemporer Indonesia.

Bersama Momon seusai melihat pameran.

Baca juga Makna Tersirat Sebuah Narasi Baru

“Lini Transisi” menampilkan 50 karya seniman Indonesia dari tahun 1950–an hingga tahun 1980–an; yakni sebelum dimulainya era seni rupa kontemporer Indonesia.

Gagasan “Lini Transisi” adalah cara untuk menemukan karya-karya yang menunjukkan tanda-tanda perubahan penting dalam perkembangan seni rupa Indonesia, khususnya di era peralihan rezim pemerintahan Indonesia, yang berbeda, selepas era kemerdekaan.

Baca juga Refleksi Indonesia di 100 Tahun Otto Djaya

Walau demikian pameran ini tidak menampilkan karya-karya seni rupa kontemporer yang mendekati era Reformasi.

Leave a comment